Banyuwangi adalah sebuah kota di Pulau Jawa yang terkenal akan keindahan alamnya. Tidak heran kalau di sini ada banyak tempat wisata alam seperti pantai, air terjun, dan bukit. Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Banyuwangi juga terkenal dengan kulinernya yang nikmat seperti pecel rawon.
Tapi kamu perlu tahu kalau pesona Banyuwangi tidak hanya sampai pada tempat wisata alam dan kuliner, tapi juga suku asli Banyuwangi yaitu Suku Osing atau biasa disebut sebagai Wong Blambangan. Suku yang satu ini bisa dibilang masih memegang erat tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang. Penasaran dengan tradisi yang masih diterapkan oleh Suku Osing Banyuwangi hingga sekarang? Langsung saja simak penjelasannya berikut ini!
Pesta dengan Tumpeng Sewu
Dalam bahasa Jawa, tumpeng sewu berarti seribu tumpeng. Tradisi yang satu ini merupakan sebuah jamuan makan mewah atau besar-besaran dengan menu tumpeng. Nasi tumpengnya tidak seperti nasi tumpeng yang umum kita santap. Menunya bukan ayam suwir atau orek tempe, melainkan pecel phitik, hidangan ayam panggang yang diberi bumbu khas Suku Osing dan parutan kelapa.
Tumpeng Sewu ini biasanya diadakan secara rutin pada saat bulan Dzulhijah atau bulan Haji. Tujuan dari Tumpeng Sewu ini adalah menghindarkan para anggota suku dari malapetaka atau marabahaya. Tradisi jamuan makan ini menjadi semacam tolak bala. Mereka percaya jika tidak mengadakan Tumpeng Sewu, maka wilayah yang mereka huni akan menerima bencana.
Percakapan menggunakan bahasa yang hanya dimengerti Suku Osing
Beda suku beda bahasa. Di Indonesia sendiri ada ratusan suku, sehingga ada banyak juga bahasa yang digunakan. Bahasa Jawa dan Sunda mungkin masih terdengar familiar di telingamu. Bagaimana dengan bahasa Suku Osing?
Bahasa yang digunakan untuk percakapan sehari-hari Suku Osing adalah turunan bahasa Jawa kuno. Sistem bahasanya ada bahasa Osing dan goko-krama. Untuk pengucapannya, kata-kata dalam bahasa Suku Osing ini banyak menggunakan diftong “ai” pada akhir kata.
Ibu-ibu Suku Osing wajib nginang
Para ibu Suku Osing memiliki tradisi nginang. Nginang adalah kegiatan menggosok gigi menggunakan ramuan berwarna merah kecoklatan yang berasal dari buah pinang. Tradisi ini sering juga disebut dengan kegiatan ngunyah pinang.
Bahan yang digunakan untuk ramuan ini adalah pinang, gambir, dan kapur sirih. Bahan-bahan tersebut kemudian digulung menggunakan daun sirih. Sebenarnya tradisi nginang ini juga bisa ditemukan di beberapa daerah lain seperti di Papua dan Jawa, namun sudah mulai tergeserkan karena generasi penerus tidak mau mengunyah pinang dan sirih. Lain halnya dengan Suku Osing yang masih melestarikan tradisi ini.
Bahkan mereka mengadakan lomba nginang sebagai bentuk pelestariannya. Tradisi nginang ini bukan tanpa tujuan. Bahan-bahan yang dikunyah oleh para ibu ini mampu membuat gigi lebih kuat dan sehat. Terbukti loh, lihat saja gigi para ibu dan nenek yang masih sehat. Sepertinya gigi penduduk kota malah lebih rapuh karena banyak mengonsumsi makanan manis.
Koloan Selametan untuk anak Suku Osing yang akan dikhitan
Kegiatan khitan atau sunat sudah lazim dilakukan pada anak laki-laki baik di desa atau pun kota. Jika di kota-kota para orang tua akan mengadakan syukuran atas khitan anaknya, maka tradisi di tengah Suku Osing agak berbeda.
Sebelum anak tersebut melakukan prosesi khitan, orang tua akan mengadakan tradisi Koloan Selametan. Tujuan dari tradisi ini adalah supaya sang anak memiliki mental yang kuat saat prosesi khitan nanti.
Tradisi ini dilakukan dengan cara menyembelih ayam, kemudian meneteskan darahnya ke atas kepala sang anak. Terdengar mengerikan, ya? Tapi memang begitulah tradisi turun temurun Suku Osing.
Oh ya, ayam yang disembelih juga bukan ayam sembarangan melainkan ayam jago berwarna merah yang masih perjaka. Pasti kamu belum pernah mendengarnya kan?
Baca Juga: Jadikan Liburan Singkatmu Berkesan Dengan Mengunjungi 7 Museum di Jakarta Ini!
Mepe Kasur, tradisi unik yang selalu rutin dilakukan
Seberapa sering kamu membawa kasur keluar rumah untuk dijemur dan dibersihkan dari debu? Sepertinya sangat jarang ya. Mungkin kalau belum basah, tidak akan dijemur. Lain halnya dengan Suku Osing yang sering menjemur kasur. Tradisi ini disebut dengan nama Mepe Kasur.
Tradisi Mepe Kasur ini rutin dilakukan setiap tahun pada bulan Dzulhijah, bersamaan dengan tradisi Tumpeng Sewu. Pada hari H perayaan, seluruh Suku Osing akan keluar rumah untuk menjemur kasur bersama-sama dan saling membantu. Warna kasur yang digunakan pun hampir sama semua yaitu berwarna merah dan hitam. Kedua warna tersebut dipercaya bisa menolak bala dan mampu menjaga kelanggengan sebuah keluarga. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk menjaga kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Dari kelima tradisi milik Suku Osing tadi, ternyata tradisi tersebut tidak dilakukan tanpa alasan dan tujuan yang positif. Tidak heran kalau Suku Osing selalu rukun dan saling membantu. Kalau menurut kamu, tradisi Suku Osing mana yang paling unik dan berkesan?